Rumah Gadang

Aspek seni dan filosofi

  Aspek seni dan filosofi dalam Rumah Gadang

             Aspek seni rupa yang menonjol pada kesenian Minangkabau adalah seni bangunan.   Seni  bangunan  pada  bangunan  tradisional  Minangkabau  -Rumah Gadang- merupakan perpaduan seni arsitektur dan seni ukiran. Seni ukiran selalu terdapat pada Rumah Gadang  bahkan pada setiap Rumah Gadang. Ukiran tradisional Minangkabau terbagi atas tiga jenis berdasarkan  inspirasi  terbentuknya ukiran. Pertama adalah ukiran yang terinspirasi dari nama tumbuh-tumbuhan seperti Aka Barayun, Aka Duo Gagang, Aka Taranang, Bungo Anau, Buah  Anau, Bungo Taratai dalam Aie, Daun Puluik-puluik, Daun Bodi jo Kipeh Cino, Kaluak Paku Kacang Balimbiang, Siriah Gadang dan Siriah Naiak. Kedua, adalah ukiran yang terinspirasi  dari  nama  hewan,  seperti  Ayam  Mancotok  dalam  Kandang,  Bada Mudiak,  Gajah  Badorong,  Harimau  dalam  Parangkok,  Itiak  Pulang  Patang, Kuciang  lalok, Kijang  Balari  dalam  Ransang  dan  Tupai  Managun  dan  yang terakhir adalah ukiran yang terinspirasi dari  benda-benda yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari seperti Ambun Dewi, Aie Bapesong, Ati-ati, Carano Kanso, Jalo Taserak, Jarek takambang, Jambua Cewek Rang Pitalah, Kaluak  Baralun, Lapiah Duo, Limpapeh, Kipeh Cino dan Sajamba Makan.


Semua  jenis  ukiran  tersebut  diatas  menunjukkan  bahwa  unsur  penting pembentuk budaya Minangkabau bercerminkan kepada apa yang ada di alam. Hal ini  sesuai  dengan  yang  disampaikan  oleh  Marah,  Risman  (1987/1988)  bahwa budaya Minangkabau adalah suatu  budaya yang berguru kepada alam dengan istilahnya Alam Takambang Jadi Guru. Pernyataan ini memiliki pengertian bahwa hampir semua aspek kehidupan masyarakat Minangkabau berinspirasikan kepada alam.

Pada bagian dinding Rumah Gadang di buat dari bahan papan, sedangkan bagian belakang dari bahan bambu. Papan dinding dipasang vertikal, sementara semua papan yang menjadi dinding dan menjadi bingkai diberi ukiran, sehingga seluruh dinding menjadi penuh ukiran. Penempatan motif ukiran tergantung pada susunan dan letak papan pada dinding Rumah Gadang.

Pada dasarnya ukiran pada Rumah Gadang merupakan ragam hias pengisi bidang dalam bentuk garis melingkar atau persegi. Motifnya umumnya tumbuhan merambat, akar yang berdaun, berbunga dan berbuah. Pola akar biasanya berbentuk lingkaran, akar berjajaran, berhimpitan, berjalinan dan juga sambung menyambung. Cabang atau ranting akar berkeluk ke luar, ke dalam, ke atas dan ke bawah. Disamping motif akar, motif lain yang dijumpai adalah motif geometri bersegi tiga, empat dan genjang. Motif daun, bunga atau buah dapat juga diukir tersendiri atau secara berjajaran.



Seni ukir tradisional Minangkabau merupakan gambaran kehidupan masyarakat yang dipahatkan pada dinding rumah gadang, merupakan wahana komunikasi dengan memuat berbagai tatanan sosial dan pedoman hidup bagi masyarakatnya. Marzuki Malin Kuning (1897 – 1987) ahli ukir dari Ampat Angkat Candung menjelaskan “Seni ukir yang terdapat pada rumah gadang merupakan ilustrasi dari masyarakatnya dan ajaran adat yang divisualisasikan dalam bentuk ukiran, sama halnya dengan relief yang terdapat pada candi Borobudur”.



Tetapi kenyataan yang ada, bahwa seni ukir tradisional pada rumah gadang telah kehilangan jati diri dan peranannya di masa sekarang. Masyarakat Minangkabau tidak banyak lagi yang mengetahui tentang nilai estetikanya, apa lagi makna filosofi yang terkandung di dalamnya. Hal ini disebabkan karena kurangnya kepahaman pada nilai-nilai estetika dan makna-makna adat yang terkandung dalam seni ukir tersebut. Untuk itu perlu dikaji ulang dan digali kembali, agar jangan kehilangan nilai dan makna seni ukir tradisional itu di tengah-tengah masyarakat pendukungnya. Penulisan dibatasi pada aspek-aspek estetika seni ukir tradisional Minangkabau pada rumah gadang, dalam kaitannya dengan seni tradisional itu sendiri yang mempunyai makna-makna tertentu, sesuai dengan ajaran adat alam Minangkabau. Estetika dan makna-makna adat ini sangat perlu diketahui baik bagi pengukir maupun bagi para penikmat dan khalayak ramai, agar para pengukir dapat menciptakan karya-karya baru tanpa melepaskan diri dari norma-norma yang berlaku dalam lingkungan adat itu sendiri.

Usaha untuk penemuan acuan guna memudahkan pemahaman terhadap estetika dan makna-makna tersirat dalam benda-benda budaya tradisional dalam hal ini seni ukir tradisional Minangkabau, ternyata memerlukan peninjauan ke masa lampau yang dapat mengungkapkan latar belakang sejarah dan kebudayaan tradisional tersebut. Agar dapat menerangkan nilai-nilai estetika dan makna-makna seni ukir tradisional Minangkabau yang terdapat pada rumah-rumah adatnya.

Jadi dari segi seni rupa, tidak ada bentuk bangunan yang persis sama di nagari-nagari minangkabau, walaupun kelihatan sama selalu ada perbedaan bentuk dan variasinya. Artinya tiap nagari merasa mempunyai hak otonom untuk mengatur dirinya sendiri. Kesesuiaan orang minangkabau diutamakan untuk nagarinya, (tanah tempat kelahirannya), terutama untuk "kaumnnya” (saparuik) bukan untuk sukunya, karena tidak adanya ikatan diantara mereka berdasarkan suku.


Kekayaan ungkapan verbal dari seni tradisional minangkabau seperti petatah-petitih memperlihatkan pola-pola tertentu yang ada hubungannya dengan penciptaan bentuk visual, misalnya penciptaan ukiran, antara lain dalam hal penciptaan ikon-ikon yang bersifat metaforik dan simbolik. Dari segi analisa "isi” content pidato adat masih memerlukan penelitian lebih lanjut.



Warna minangkabau yang utama adalah sirah (merah tua kecoklatan), kuniang (kuning kunyit) dan hitam, dalam bangunan juga terlihat penggunaan warna putih. Apakah warna ini ada hubungannya dengan angka empat perlu penelitian lebih lanjut, yaitu untuk melihat struktur kosmos yang diwakili oleh warna.



Ketiga unsur warna ini melambangkan luhak agam (merah), luhak tanah datar (hitam) dan luhak lima puluh kota (hitam), yang kemudian menjadi warna merawal/bendera minangkabau. Menurut A.A. Navis (1986), dalam bukunya alam takambang jadi guru, pembangunan rumah gadang secara tradisional seperti yang lama, sudah tidak ada lagi sejak zaman penajahan belanda, yaitu pada akhir abad ke-19.

                  Makna filosofis yang terkandung dalam ukiran ‘Itiak Pulang Patang’ yang mencerminkan pola kehidupan  masyarakat Minangkabau. Ukiran ini pada umumnya  banyak terdapat di dinding Rumah Adat Minangkabau  yang terkenal dengan nama “Rumah Gadang”. Dalam tulisan ini diketahui  bahwa ukiran ‘Itiak Pulang Patang’ ternyata    memiliki enam makna filosofis yang terlihat dalam kehidupan masyarakat Minangkabau yang masih ada dan dipertahankan samapai sekarang. Makna tersebut adalah pertama, mengenai keselarasan dan keserasian kehidupan masyarakat  Minangkabau  dengan  alamnya;  kedua, tata  pergaulan  dalam kehidupan sehari-hari antar individu dalam masyarakat; ketiga, tatanan sistem pemerintahan;  keempat, hubungan sinergis pada hubungan system kekerabatan antara mamak dan  kemenakan;  kelima, keteguhan dalam menjalankan prinsip- prinsip   hidup;   keenam,  kebersamaan dan kekompakan dalam kehidupan masyarakat Minangkabau.

Rumah Gadang - Arsitektur Luar Biasa Peninggalan Nenek Moyang Kita....