· Pola, Bentuk, Arsitektur, dan Karakteristik Rumah Gadang
Untuk menelaah metode desain yang diterapkan pada arsitektur tradisional dibutuhkan penelitian yang cukup mendalam. Banyak faktor yang mempengaruhi cara berarsitektur dan hasil karya arsitektur yang lahir pada suatu golongan atau etnis masyarakat tertentu. Oleh karena itu dibutuhkan pula pendekatan dari berbagai sudut pandang untuk dapat menjelaskan metode seperti apa yang mereka pakai dalam mencitrakan arsitektur tradisionalnya.
Selain dari bentuk dan arsitektur, ada hal lain yang khas dari rumah gadang, yaitu rangkiang, Rangkiang adalah bangunan untuk menyimpan padi, nama lainnya adalah Lumbuang atau Kapuak. Nama rangkiang bermacam-macam, sesuai dengan kegunaan dari padi yang disimpan di dalam rangkiang tersebut.
Rumah Gadang berbentuk kapal, yaitu kecil di bawah dan besar di atas. Bentuk atapnya punya lengkung ke atas, kurang lebih setengah lingkaran, dan berasal dari daun Rumbio (nipah). Bentuknya menyerupai tanduk kerbau dengan jumlah lengkung antara biasanya empat atau enam, dan satu lengkungan ke arah depan rumah. Denah dasar bentuk empat persegi panjang dan lantai berada di atas tiang-tiang. Tangga tempat masuk berada ditengah-tengah dan merupakan serambi muka. Ada juga yang membuatnya dibagian sebelah ujung, biasanya untuk dapur.
Bangunan rumah gadang khas dengan atap gonjongnya. Tidak hanya itu, jika diperhatikan, massa bangunan rumah gadang juga terlihat besar ke atas yang memberikan kesan ‘besar kepala’. Bukan tidak ada alasan mengapa masyarakat Minangkabau menghasilkan karya arsitektur dengan bentuk seperti ini. Sebagai arsitektur tradisional, geometri-geometri yang diterapkan pada rumah gadang tentunya mempunyai arti yang sangat penting bagi masyarakat Minangkabau sebagai simbol yang merujuk pada identitas budaya mereka. Jika geometri-geometri tersebut lahir sebagai sebuah simbol, tentu ada sesuatu yang disimbolkannya. Misalnya, simbol dari sesuatu yang berbentuk fisik seperti alam (hewan, tumbuhan ataupun kondisi alam yang dianggap ‘penting’ dalam suatu golongan masyarakat) ataupun simbol dari sesuatu yang bersifat non-fisik seperti cara hidup (way of life) dan keyakinan atau kepercayaan. Namun dibalik semua itu, bagi saya sendiri terdapat hal yang cukup menarik perhatian yaitu bagaimana cara masyarakat Minangkabau mentransformasikan apa yang ingin mereka simbolkan ke dalam bentuk geometri arsitektural. Metode desain seperti apa yang mereka terapkan hingga lahir bentuk rumah gadang seperti yang kita lihat sekarang, khususnya bentuk atap gonjongnya.
Untuk menelaah metode desain yang diterapkan pada arsitektur tradisional dibutuhkan penelitian yang cukup mendalam. Banyak faktor yang mempengaruhi cara berarsitektur dan hasil karya arsitektur yang lahir pada suatu golongan atau etnis masyarakat tertentu. Oleh karena itu dibutuhkan pula pendekatan dari berbagai sudut pandang untuk dapat menjelaskan metode seperti apa yang mereka pakai dalam mencitrakan arsitektur tradisionalnya.
Saat berbicara mengenai rumah gadang, hal yang langsung tebayang di benak kita biasanya adalah bentuk atap yang runcing menjulang tinggi ke langit. Atap ini disebut atap gonjong yang pada akhirnya menginspirasi masyarakat Minangkabau untuk menerapkannya pada bangunan modern sebagai identitas budaya mereka, walaupun sebenarnya hal seperti ini masih menjadi perdebatan mengenai layak atau tidaknya. Terlepas dari semua itu, atap gonjong merupakan hasil dari proses berarsitektur dan berbudaya masyarakat Minangkabau yang telah mengalami trial and error. Seperti yang telah dituliskan sebelumnya, bentuk-bentuk geometri yang hadir dalam wujud fisik rumah gadang merupakan simbol terhadap segala sesuatu yang sangat erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat Minangkabau. Segala sesuatu tersebut dapat berupa hal yang bersumber dari alam, cara hidup, sejarah dan kepercayaan. Namun saat sesuatu hadir sebagai sebuah simbol, sesuatu tersebut tidak harus serupa dengan apa yang disimbolkannya.
Wujud fisik rumah gadang secara keseluruhan yang terbagi atas kaki badan dan kepala yang pada dasarnya terbentuk dari geometri-geometri sederhana. Denah rumah gadang sangat sederhana yaitu persegi panjang dengan pembagian ruang yang juga sederhana, massa badan bangunan juga sederhana dengan hanya menerapkan geometri-geometri dalam kaidah bidang planar. Denah dan massa badan bangunan pada dasarnya merupakan simbol dari hal yang lebih bersifat non-fisik seperti cara hidup dan kepercayaan. Cara hidup masyarakat Minangkabau yang dipengaruhi oleh sistem genealogis matrilineal yang mereka anut dimana posisi kaum perempuan dalam masyarakat dianggap penting, kepercayaan yang mereka anut yaitu agama Islam yang mempengaruhi batasan ruang antara perempuan dan laki-laki, yang kesemuanya mempunyai penjelasan yang amat panjang dan rumit, tergambar dalam denah yang sederhana ini.
Namun saat melihat atap gonjong, terlihat geometri yang berbeda dan seolah keluar dari kaidah yang diterapkan pada denah. Berbeda denah yang didominasi oleh garis-garis lurus yang terkesan kaku, atap gonjong terbentuk dari komposisi garis-garis lengkung yang terkesan lebih dinamis. Persamaannya, bentuk atap gonjong juga merupakan simbol serta rekaman terhadap sesuatu yang erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat Minangkabau. Namun hal yang disimbolkan oleh atap gonjong lebih bersifat pada sesuatu yang fisik, seperti sesuatu yang berasal dari alam atau benda kenangan masa lampau. Secara sederhana, bentuk dasar dari gonjong adalah segitiga sama kaki namun dengan jumlah besar sudut kurang dari 180o, segitiga yang berada pada kaidah non-Euclidean geometry.
Ada beberapa pendapat mengenai apa yang masyarakat Minangkabau simbolkan dan rekam melalui atap gonjong antara lain,
• Atap gonjong merupakan simbol dari tanduk kerbau, karena kerbau merupakan hewan yang dianggap sangat erat kaitannya dengan penamaan daerah Minangkabau.
• Atap gonjong adalah simbol dari pucuk rebung (bakal bambu), karena bagi masyarakat Minangkabau rebung merupakan bahan makanan adat, olahan rebung merupakan hidangan yang selalu ada saat upacara-upacara adat. Selain itu, bambu dianggap tumbuhan yang sangat penting dalam konstruksi tradisional.
• Atap gonjong menyimbolkan kapal sebagai rekaman untuk mengenang asal usul nenek moyang orang Minangkabau yang dianggap berasal dari rombongan Iskandar Zulkarnaen yang berlayar dengan kapal dari daerah asalnya yang kemudian terdampar di dataran Minangkabau sekarang.
• Atap gonjong merupakan rekaman terhadap alam Minangkabau yang berbukit yang terdiri dari punggungan-punggungan dan landaian-landaian.
Bagi orang Minangkabau, alam adalah sesuatu yang dinamis, kedinamisan ini secara sederhana mereka simbolkan dengan garis lengkung, seperti garis lengkung pada atap gonjong. Keseluruhan pendapat tersebut menyiratkan bahwa garis-garis lengkung yang tajam pada atap gonjong merupakantracing/jiplakan terhadap bentuk-bentuk yang berasal dari alam atau benda yang dianggap penting oleh masyarakat Minangkabau. Proses tracing atau penjiplakan ini dilakukan dalam jangka waktu berarsitektur yang sangat panjang. Di dalam proses tersebut terdapat trial and error akibat penyesuaian terhadap alam dimana atap gonjong itu eksis (alam Minangkabau). Di dalam prosestracing ini dilakukan penyederhaaan dengan mengurangi garis-garis rumit atau detail dari kondisi nyata objek yang ingin disimbolkan, seperti dengan mengambil siluetnya ataupun hanya geometri dasarnya. Dengan demikian, walaupun geometri yang kemudian hadir tidak sama dengan apa yang disimbolkannya, tetap ada bagian yang dipertahankan seperti kedinamisan dari objek tersebut.
Dari uraian di atas, terlihat sepintas lalu metode desain yang digunakan oleh masyarakat Minangkabau terkesan sangat sederhana, hanya dengan men-trace suatu objek yang dianggap penting dengan ‘mengabaikan’ detail geometri dari objek tersebut. Proses yang berlangsung sekian lama berhenti saat masyarakat Minangkabau menemukan geometri arsitektural yang tepat sebagai simbol dari pandangan hidup mereka dan sesuai dengan kondisi alam tempat mereka hidup. Dengan demikian lahirlah desain arsitektur tradisional rumah gadang seperti yang eksistensinya masih dapat kita lihat di wilayah Minangkabau. Prosestracing dalam pembentukan wujud arsitektural atap gonjong rumah gadang merupakan penjiplakan benda tiga dimensi ke dalam wujud tiga dimensi pula. Hilangnya detail-detail dari benda yang di-trace membuat wujud baru yang terbentuk dapat diartikan lain oleh orang yang berbeda karena wujud baru tersebut dapat mewakili beberapa benda yang berbeda pula. Dengan demikian tidak salah jika ada beberapa pendapat mengenai benda apa yang disimbolkan oleh atap gonjong rumah gadang.
Pada ujung kiri dan kanan ada anjungan yang terdiri dari sekurang-kurangnya dua tingkat dan sebanyak-banyaknya tiga tingkat. Anjungan berupa tangga (bertingkat) yang terletak pada tengah bagian lebar rumah. Ruangan pada anjungan hanya digunakan untuk hal-hal khusus, seperti untuk pasangan yang baru menikah dalam keluarga tersebut.
Rumah adat Minangkabau tidak memakai ukuran dengan meter. Panjang dan lebar rumah ditentukan dengan labuh (jalur), dan yang biasanya yang dijadikan ukuran adalah hasta atau depa. Ukuran indak dimakan siku, namun disebut dengan ukuran alue jo patuik (alur dan patut). Dalam kiasan orang Minang dikatakan, Condong mato ka nan rancak, condong salero ka nan lamak. Lebar ruang atau labuh (jarak antara tiang menurut lebar dan panjang) bervariasi antara 2,5 meter sampai 4 meter. Panjang rumah sekurang-kurangnya 3 jalur dan sebanyak-banyaknya 4 jalur. Jalur atau labuh berbentuk memanjang. Jalur pertama dari muka dinamakan Bandue Tapi. Jalur kedua disebut Labueh Gajah. Jalur ketiga disebut Labueh Tangah, sedangkan jalur keempat disebut Bilik. Ruangan terletak pada potongan rumah menurut lebar rumah. Satu ruang ditengah dinamai Gajah Maharam. Ruangan ini disebut begitu karena berbentuk seperti gajah yang lagi duduk di lantai dengan kaki yang terletak di sampingnya. Dua ruang kekiri disebut Sarambi Papek dan dua ruang ke kanan disebut Rajo Babariang.
Para nenek moyang orang Minang ternyata berpikiran futuristik alias jauh maju melampaui zamannya dalam membangun rumah. Konstruksi rumah gadang ternyata telah dirancang untuk menahan gempuran gempa bumi. Rumah gadang di Sumatera Barat membuktikan ketangguhan rekayasa konstruksi yang memiliki daya lentur dan soliditas saat terjadi guncangan gempa hingga berkekuatan di atas 8 skala richter. Bentuk rumah gadang membuat Rumah Gadang tetap stabil menerima guncangan dari bumi. Getaran yang datang dari tanah terhadap bangunan terdistribusi ke semua bangunan. Rumah gadang yang tidak menggunakan paku sebagai pengikat, tetapi berupa pasak sebagai sambungan membuat bangunan memiliki sifat sangat lentur. Selain itu kaki atau tiang bangunan bagian bawah tidak pernah menyentuh bumi atau tanah. Tapak tiang dialas dengan batu sandi. Batu ini berfungsi sebagai peredam getaran gelombang dari tanah, sehingga tidak mempengaruhi bangunan di atasnya. Kalau ada getaran gempa bumi, Rumah Gadang hanya akan berayun atau bergoyang mengikuti gelombang yang ditimbulkan getaran tersebut. Darmansyah, ahli konstruksi dari Lembaga Penanggulangan Bencana Alam Nahdatul Ulama (LPBA NU) Sumatera Barat menyebutkan, dari sisi ilmu konstruksi bangunan rumah gadang jauh lebih maju setidaknya 300 tahun dibanding konstruksi yang ada di dunia pada zamannya.
Selain dari bentuk dan arsitektur, ada hal lain yang khas dari rumah gadang, yaitu rangkiang, Rangkiang adalah bangunan untuk menyimpan padi, nama lainnya adalah Lumbuang atau Kapuak. Nama rangkiang bermacam-macam, sesuai dengan kegunaan dari padi yang disimpan di dalam rangkiang tersebut.
Beberapa rangkiang yang dikenal:
- Sitinjau Lauik
Disebut juga dengan Kapuak Adat Jo Pusako. Berguna untuk hal-hal yang berkaitan dengan acara adat, seperti tagak panghulu, kematian danlain-lain. Bentuknya lebih langsing dibandingkan dengan yang lain, berdiri diatas empat tiang dan terletak ditengah diantara rangkiang yang lain.
- Sibayau-Bayau
Disebut juga Kapuak Salang Tenggang, yang berguna untuk makanan sehari-hari anggota keluarga rumah gadang.
- Sitangka Lapa
Disebut juga Kapuak Gantuang Tungku, digunakan pada masa paceklik. Tipenya bersegi dan berdiri di atas empat tiangnya.
- Kaciak Simajo Kayo
Disebut juga Kapuak Abuan Rang Mudo, digunakan untuk keperluan anak-anak muda yang ada dalam rumah gadang yang membutuhkan sesuatu, seperti untuk pernikahan, maka biayanya akan diambil dari rangkiang ini.
Dari bermacam-macam nama dan fungsi rangkiang, hal tersebut mencerminkan kesejahteraan ekonomi orang Minangkabau di masa dahulu. Dan juga, hal ini menunjukkan rasa dan jiwa sosial yang dimiliki oleh orang Minangkabau terhadap orang lain. Hal ini terlihat pada pepatah berikut:
Hati tungau samo dicacah hati gajah samo dilapah
Indak samo dicari, ado sama dimakan